top of page

Belajar dari Bali, Wisata Budaya Sukses “Upgrade” Banyuwangi


Indonesia tak perlu takut dengan budaya asing yang tak pernah berhenti menggencarkan serangan tersembunyi lewat modernitas atau terang-terangan lewat film, musik, fashion dan lainnya. Sebab, Indonesia punya keragaman dan kekayaan budaya yang takkan habis digali dengan tangan-tangan kreatif, inisiatif-inisiatif berani dari seluruh pelaku industri hingga pejabat negara, juga pegawai negeri.

Masyarakat sebagai penikmatnya hanya perlu diingatkan kembali, dan diajak dengan cara kreatif menikmati budaya lokal milik negeri. Inilah pesan kuat yang saya simpulkan dari paparan M Yanuarto Bramuda Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, mengenai Best Practice Pariwisata sebagai Penggerak Ekonomi Daerah.

Sebuah langkah nyata yang Yanuarto lakukan bersama timnya dengan dukungan penuh dari pimpinannya, Bupati Abdullah Azwar Anas yang memahami ide kreatif kekinian terobosan yang bisa dilakukan PNS bukan hanya Banyuwangi bahkan seluruh PNS negeri ini.

Terobosan ini seakan menyuntikkan semangat segar untuk pejabat daerah dan stakeholder pariwisata, para peserta Rapat Koordinasi Pemasaran Pariwisata Indonesia di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta, Jumat, 16 Oktober 2015.

“Saya belajar dari Bali. Sembahyang di Bali saja bisa ‘dijual’ bahkan turis pun jadi ikut sembahyang,” kata Yanuarto mencontohkan bagaimana muatan lokal bisa digali menjadi potensi pariwisata.

Wisata budaya, event berbasis budaya, menjadi cara yang dipilih Banyuwangi untuk mengangkat potensi daerahnya. Daerah, kata Yanuarto, harus dilihat sebagai produk. Layaknya sebuah produk yang digemari konsumen, dan punya pelanggan setia, harus diperkenalkan, dipromosikan, dengan berbagai cara dan kemasan yang unik dan menarik.

Banyuwangi, dengan kreativitas Yanuarto yang terpendam lima tahun lamanya karena tak punya partner untuk updgrade daerah, akhirnya melahirkan berbagai event branding, promosi, yang berhasil mendongkrak reputasi Banyuwangi.

“Saya tidak sendiri, pariwisata di Banyuwangi bukan hanya urusan kepala dinas pariwisata tapi seluruh PNS, SKPD (satuan kerja perangkat daerah) di Banyuwangi bersatu,” katanya.

Wisata Banyuwangi yang semakin mewangi adalah berkat sinergi lintas sektor di kabupaten yang lokasinya memang berdekatan dengan Bali ini. Kuncinya mengubah mindset bahwa daerah adalah produk, dan sebagai produk maka promosi menjadi urusan penting, jadi prioritas. Bahkan Banyuwangi mengalokasikan anggaran promosi 60 persen. Dari mana dananya? Kreativitas dan ketegasan sumbernya, karena Banyuwangi tidak hanya mengandalkan APBN untuk mengembangkan daerahnya. Namun ada sumbangsih dari berbagai sektor.

Saya tak tahu persis bagaimana pengelolaan dananya, sebab memang Kepala Dinas Pariwisata ini tak menjelaskan secara merinci karena harus segera kembali mengurus daerahnya siang setelah menyampaikan paparannya. Yang saya tangkap pesannya adalah ada penghematan biaya operasional melalui pemangkasan jalur birokrasi dengan memanfaatkan teknologi, yang saya pikir ini bisa menghemat pengeluaran daerah. Atau bisa jadi dari okupansi hotel di Banyuwangi selalu mencapai 100 persen setiap kali kabupaten ini menggelar event, karnival atau pun festival yang mengangkat budaya lokal. Pendapatan daerah bertambah tentunya dari sektor bisnis pariwisata ini. Bisa juga dari bank yang tidak perform di daerah ini, selalu dievaluasi.

Kata Yanuarto, pak Bupati rutin berdialog lewat coffee morning dengan pihak bank sebagai salah satu cara monitoring dan evaluasi kinerja perbankan. Ada unsur ketegasan di sana, yang dikemas dengan cara kekinian, namun memengaruhi kebijakan daerah. Jika tidak berkontribusi untuk daerah tak perlu lama-lama dipertahankan.

Yang hebatnya, tidak ada minimarket biru atau merah di daerah ini, yang sebenarnya bisa saja jadi sumber pendapatan daerah. Namun demi mempertahankan budaya negeri sendiri, budaya tawar menawar pasar tradisional, demi mempertahankan berbagai potensi lokal, sumber pendapatan daerah yang menggiurkan dari pasar modern, diabaikan. Hasilnya, Banyuwangi bisa bertahan bahkan berkembang dengan wisata budaya salah satunya memberikan pengalaman berbelanja khas Indonesia di pasar tradisional yang dibela keberadaannya.

Itu masih sekelumit soal wisata budaya. Masih banyak lagi yang membuat saya terkagum-kagum dengan paparan soal Banyuwangi. Padahal ini hanya paparan, belum merasakan sendiri eksplorasi Banyuwangi. Namun saya bisa merasakan semangat Kepada Dinas Pariwisata Banyuwangi ini. Betapa idenya yang besar, berkat kesabaran, akhirnya dipertemukan dengan pimpinan yang satu frekuensi, dan menghasilkan terobosan besar, sumber inspirasi bagi daerah lain, bagi para stakeholder pariwisata yang memberikan applause bersemangat begitu Yanuarto menuntaskan presentasinya pagi itu.

Ada sekitar 32 event termasuk festival di Banyuwangi dalam setahu. Saya bisa mendapatkan gambarannya bagaimana kabupaten ini bergerak maju mengembangkan daerahnya dengan wisata budaya, ecotourism, event menarik baik internal untuk warga maupun eksternal untuk mendapatkan wisatawan domestik dan mancanegara.

Soal ecotourism misalnya, menjawab minimnya anggaran (hanya lima milyar katanya) Banyuwangi mencari akal mempraktikkan low budget high impact program. Sadar bahwa pariwisata Banyuwangi takkan berkembang karena akses yang sulit, maka infrastruktur pun jadi prioritas. Jalan dan bandara menjadi prioritas utamanya. Lagi-lagi, karena minim budget, tak seluruh jalan bisa dibangun, maka konsep ecotourism pun digulirkan, jalan-jalan yang khas, akses yang memberikan pengalaman penuh petualangan menuju destinasi wisata tertentu, dikelola maksimal. Hasilnya, pengalaman wisata petualangan dengan konsep ecotourism pun berjalan maksimal dan menjadi ciri khas Banyuwangi yang mem-branding daerahnya sebagai the Sunrise of Java ini.

Event di Banyuwangi yang banyak jumlahnya juga andalan lain daerah ini menggaet turis lokal dan asing. Untuk menyebarluaskan informasi tentang kabupaten ini, dikerahkanlah siswa di Banyuwangi yang dididik untuk menggunakan medsos terutama twitter mempromosikan daerahnya. Daerah boleh tak punya dana, namun bisa menggerakan rakyatnya untuk berpromosi seperti yang dilakukan Banyuwangi dengan mendorong siswa, 1,5 juta rakyatnya untuk berkontribusi lewat Twitter.

“Jangan heran kalau Banyuwangi sering trending topic,” kata Yanuarto. Tak hanya mendorong warganya nge-tweet, daerah juga memfasilitasi wifi. Bahkan dekat kuburan pun ada wifi katanya.

Saya jadi penasaran, karena baru mendengarkan ceritanya belum membuktikan keberadaaannya. Bukan hanya warga yang kompak mengangkat wisata Bayuwangi lewat medsos, para PNS, pejabat daerah juga saling dukung mengembangkan potensi wisata. Sebagai contoh, mobil dinas menjadi milik bersama, dan pejabat daerah menjadi pelayan bahkan mungkin tour guide begitu festival berlangsung di Banyuwangi.

Event yang akhirnya meruntuhkan ego sektoral demi daerah yang lebih berkembang. Yang juga menarik, bagaimana budaya kerja profesional dan melek teknologi sudah berlangsung di Banyuwangi.

Kata Yanuarto, para pejabat publik tak perlu banyak rapat, cukup mengambil keputusan melalui koordinasi dengan aplikasi whatsapp dan email. Simpel, praktis, cepat, dan daerah pun terus bergerak tidak untuk menyaingi Bali dan Lombok, namun bisa menjadi pilihan destinasi wisata budaya di Indonesia.

Saya pun jadi tertarik ingin ke Banyuwangi, next destitation, meski bagi saya pesona Bali tetap takkan tergantikan dan Lombok yang belum sempat dijelajah mungkin akan ada di urutan kedua setelah niatan ekslporasi Banyuwangi bisa terpenuhi.

Branding Banyuwangi dari sekelumit paparan Kepala Dinas Pariwisatanya ini ternyata berhasil mempengaruhi saya, bagaimana dengan Anda? Published first at Kompasiana: http://www.kompasiana.com/wardahfajri/belajar-dari-bali-wisata-budaya-sukses-upgrade-banyuwangi_5620c77224afbd26098b4567

bottom of page