top of page

Kembali Berdaya Berkomunitas Berkat Kompasiana


Saya tidak pernah mencatat sejak kapan saya begitu nyaman berada dan aktif di dalam komunitas. Rasanya sejak kecil saya sudah berkomunitas, bahkan di setiap tahapan usia, remaja, dewasa muda, hingga sudah menjadi ibu bekerja, saya selalu berurusan dengan komunitas.

Berkegiatan di komunitas bukan hal baru. Dan ketika berkomunitas menjadi bagian dari pekerjaan, saling membesarkan, rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Saya tak pernah menargetkan bakal terjun bebas ke komunitas, karena jalan hidup tak ada yang bisa menerka bukan, namun bersyukur setelah melewati perjalanan yang berliku dalam pekerjaan akhirnya membawa saya kembali kepada komunitas, dan kali ini berkomunitas semakin luar biasa bersama Kompasiana. Ini adalah cerita saya menemukan kembali komunitas, berkomunitas yang naik kelas, karena Kompasiana.

Berawal dari minat Kalau dingat-ingat,sejak kecil saya suka bergaul, mengajak teman sebaya berkumpul, melakukan sesuatu yang kami suka, bahkan menampilkan kebisaan kami di depan orang banyak. Salah satunya, adalah membuat kelompok tari modern ala saya. Sewaktu SD, saya kumpulkan teman sebaya yang suka menari (modern dance) kala itu sedang digandrungi. Tak ada pelatih, kami hanya meniru tari modern di televisi. Saya ciptakan gerakan tari, mengajak teman menari bersama, menjaga kekompakan, dengan tujuan utama tampil memeriahkan panggung hiburan perayaan agustusan, perayaan HUT RI 17 Agustus, tingkat RT di kampung halaman saya, tak jauh dari pusat kota Jakarta, alias pinggiran kota (perbatasan Jakarta dan Tangerang).

Berkumpul bersama teman-teman sehobi, mungkin itu komunitas terkecil yang pernah saya ikuti saat masih belia. Berlanjut ke remaja, berkumpul bersama teman rumah membentuk kepanitiaan, lagi-lagi untuk 17-an, menjadi komunitas lain di era berbeda. Di sekolah, OSIS dan berbagai kegiatan ekstrakurikuler, dari SMP hingga SMA tak pernah sudi saya lewati.

Saya ingat, orangtua terutama ibu selalu terheran-heran kenapa saya bergitu aktif berkegiatan di sekolah, bahkan hari Minggu, saat anak seusia saya saat itu mungkin asyik nonton tayangan televisi yang itu-itu saja, sebut saja doraemon, planet remaja, atau anak perempuan di kampung yang kebiasaannya adalah membantu orangtua memasak di dapur, berbenah rumah, saya malah keluyuran, ke sekolah, berkegiatan.

Berkegiatan dalam organisasi apa pun memang melelahkan. Namun selelah apa pun, buktinya berkomunitas tak terlepaskan dari cerita hidup saya, bahkan hingga kini, setelah belasan tahun berlalu, saya masih saja berkomunitas.

Minat menjadi kata kunci yang membuat kita akan memlilih berkumpul pada komunitas yang kita inginkan. Fokus kemudian menjadi pelekatnya. Ketika minat dibarengi dengan fokus, maka apa yang kita lakukan akan berjalan melebihi apa yang diharapkan bahkan membesarkan.

Saya tak pernah menyangka bahwa hobi berkomunitas, dengan berbagai minat, sejak belia ternyata perlahan membesarkan saya menjadi pribadi yang akrab dengan komunitas. Hingga akhirnya, komunitas menjadi bagian dari keseharian, rutinitas, bahkan pekerjaan. Bekerja berkomunitas. Menjadi professional yang dibayar menjalankan hobi/minat, inilah yang akhirnya saya temukan di Kompasiana.

Media komunitas Kompasiana adalah media warga, medianya komunitas penulis warga yang ternyata di dalamnya banyak komunitas hobi sesuai peminatan. Saya tak pernah tahu soal ini sebelum akhirnya memutuskan pindah dari rutinitas menjadi wartawan online menjadi moderator media warga, di Kompasiana.

Saya tak pernah menyangka ada komunitas penulis blog sosial yang begitu besar, jumlah dan pengaruhnya. Saya yang dulunya sibuk dengan target menulis harian untuk memproduksi berita/informasi di media online, tak pernah menyadari ada dunia blogging yang begitu dinamis. Saya tidak pernah tahu kalau di dalam Kompasiana yang saya pilih sebagai tempat berlabuh yang baru, akan mempertemukan saya dengan dunia komunitas, dunia saya.

Dunia komunitas dunia saya. Ya, tak berlebihan saya mengatakan demikian karena sejak awal bekerja setelah lulus kuliah jurnalistik di IISIP Jakarta, target saya adalah bekerja di media. Almamater sekolah pionir jurnalistik (dulunya publisistik) yang bercita-cita menjadi jurnalis, wajar saja bukan? Namun Tuhan berkata lain dengan membawa saya bekerja pada sebuan Event Organizer yang sedang merintis bisnis. Saya jalani saja apa adanya yang penting bisa bekerja. Tak lama, kurang dari setahun, perusahaan pun mati suri, hingga akhirnya kini berkembang jauh lebih besar, namun saya sudah punya cerita lain yang tak kalah seru.

Media komunitas menjadi tempat saya bekerja setelahnya. Berawal dari media komunitas penulis mahasiswa, yang diproduksi perusahaan penerbitan di Jatinegara, Majalah Kayangan namanya. Amatir, sangat amatir, namun idenya brilian menurut saya. Majalah ini memfasilitasi mahasiswa untuk menulis, member akses menulis dan berkarya sesuai minatnya, melalui majalah komunitas yang disebarluarkan melalui kampus-kampus.

Melalui majalah komunitas ini saya menembus akses pencarian berita layaknya jurnalis media nasional, untuk memberikan konten yang menarik, aktual dan menghibur, untuk segmen kalangan kampus. Musik, film, fashion menjadi konten yang selalu menarik untuk kalangan muda. Saya ingat sekali, partner saya, seorang mahasiswa, pernah membuka jalan mengangkat kisah musisi pendatang baru yang katanya berkualitas. Tawaran yang saya lewatkan karena masih sibuk memproduksi konten dari musisi yang sudah lebih dahulu eksis. Band Nidji namanya. Teman saya ini kenal dengan Nidji dan menawarkan untuk mengangkat profilnya. Belum sempat terjadwal dalam rapat redaksi, saya, kayangan, Nidji berjalan masing-masing. Hingga akhirnya Nidji melejit, eksis dan diakui keberadaannya sebagai band ternama di Indonesia. Saat itu, saya sudah tidak lagi bekerja di Majalah Kayangan. Majalah yang meninggalkan banyak kenangan dan pelajaran. Majalah komunitas yang hampir sebagian besar penulisnya mahasiswa dan fresh graduate yang sangat berhasrat menulis dan merasa terfasilitasi dengan majalah komunitas kampus ini.

Saya adalah pengelola konten dan komunitas penulis majalah komunitas kampus ini, mengorganisasi belasan bahkan puluhan kontributor mahasiswa yang kreatif, produktif, dan kritis. Sangat kritis dengan idependensinya, dengan idealismenya. Majalah yang berakhir dengan catatan tak menyenangkan, karena saya pun sempat “dipersalahkan” ketika ada penulis yang tertunda haknya lantaran kesulitan produksi penerbitan majalah kala itu. Tak apa karena perjalanan majalah dan komunitas penulis mahasiswa ini memberikan pelajaran sangat berharga. Termasuk pelajaran bahwa mahasiswa sangat membutuhkan wadah untuk menampung kreativitas mereka, mau bekerja dengan professional dan semangat tinggi, apalagi ketika diapresiasi dengan selayaknya. Kini, para (mantan) mahasiswa itu saya yakin menempuh jalan masing-masing yang luar biasa. Ada yang menjadi pengacara, ada yang tinggal di Amerika, ada yang sukses eksis dengan bidangnya di dunia fotografi dan desain grafis, dan teman saya yang pernah menawarkan mengusung Nidji sukses menjadi marketing di grup perusahaan tempat saya bekerja saat ini. Ya, kami ternyata satu perusahaan, dengan divisi berbeda. Dunia memang teramat sempit.

Tiga tahun sebelumnya, majalah komunitas Remote Control (RC) Car yang juga diterbitkan oleh perusahaan percetakan memberikan pelajaran berharga tentang komunitas dan hobi. Bagaimana komunitas terbentuk dari kesamaan hobi, lalu berkegiatan membesarkan anggotanya, memberikan kesempatan untuk terus eksis, memberdayakan, dan bahkan memberikan manfaat seluas-luasnya. Segmentasi komunitas ini sangat khas. Hanya orang-orang penggemar RC Car yang ternyata besar komunitasnya, beragam kegiatannya, bahkan punya tempat khusus di Senayan (Gelora Bung Karno). Artinya, komunitas hobi yang segmented seperti ini pun menyimpan banyak cerita yang bisa dan bahkan laku dituliskan, disebarluaskan, melalui majalah, melalui tulisan.

Saya belajar, komunitas dan media memang saling membutuhkan saling membesarkan. Di majalah RC Car ini, saya hanya sebagai pekerja magang/freelance. Mencari pengalaman menulis, membangun pertemanan, salah satunya bertemu Franka, yang dulunya bekerja untuk majalah hobi Kompas Gramedia, dan kini menekuni dunia fashion di Turki, sahabat baik yang ternyata bertemu begitu saja, ketika saya menjadi wartawan lifestyle di media online, dari satu grup perusahaan yang sama.

Saya dan Franka pun kembali bertemu dan bersinergi, dengan komunitas berbeda, komunitas blogger. Saat itu, saya sudah ber-Kompasiana. Dunia komunitas penulis blog yang memberikan wawasan baru, energi baru, inspirasi dan ide-ide baru bagi saya pribadi. Setelah sebelumnya saya berkelut dan tak pernah terpuaskan dengan dunia jurnalistik bidang ekonomi (wartawan ekonomi surat kabar berbahasa Inggris), dunia seluler (wartawan majalah), dunia lifestyle dan kesehatan (wartawan media online). Sekarang saya puas dengan dunia blogger? Kalau puas tak bisa lagi berkembang bukan? Saya terpuaskan karena menemukan dunia sosial blog yang benar-benar ajaib, namun tak ingin cepat puas karena ternyata masih banyak yang bisa dibesarkan darinya.

Bercerita lewat tulisan versi pewarta warga menjadi keasyikan tersendiri. Saya bisa mengisahkan Franka misalnya, dengan gaya dan cara berbeda ketika saya menuliskannya untuk media arus utama. Lebih leluasa, bebas namun bertanggungjawab, dan punya tujuan berbagi dan saling membesarkan. Saya ingin membesarkan Franka yang sudah berkontribusi untuk bangsa dengan caranya, juga ingin berbagi cerita kepada blogger yang ada dalam pertemanan saya. Sekadar berbagi cerita inspiratif, untuk saling membuka wawasan. Misi berbagi dan saling membesarkan dengan membuka wawasan sesama pewarta warga inilah yang unik dan khas di Kompasiana. Belum lagi jaringan pertemanan yang begitu terjaga.

Berkomunitas menjadi keharusan yang dijalani tanpa keterpaksaan, karena memang blogger saling membutuhkan. Butuh saling berbagi cerita, butuh pembaca, butuh apresiasi yang kemudian membakar semangat untuk terus menulis, lagi dan lagi. Saya pun belajar, dan beberapa kali mengatakan kepada pihak ketiga yang belum paham era sosial blog dan dunia blogging, bahwa blogger pasti berkomunitas. Mereka saling membutuhkan selain memang semangat pertemanannya tinggi. Dengan berkomunitas blogger bisa saling melakukan blogwalking, mendukung sesama blogger dengan membaca tulisan-tulisannya. Saling membesarkan. Yang ahli tak sungkan berbagi ilmu, yang pemula tak merasa diperlakukan semena-semena seakan manusia polos yang tak tahu apa-apa. Dengan begitu pertemanan terjaga, efek viral dari sebuah tulisan yang diproduksinya pun semakin membesarkan keberadaannya. Inilah yang semestinya dipahami betapa blogger punya power di era serba digital sekarang ini. Dan saya yakin baik brand maupun lembaga pemerintahan di luar sana semakin menyadari kekuatan blogger ini. Apalagi pewarta warga yang kerap menjadi referensi media massa.

Seni Berkomunitas

Seni berkomunitas saya temukan di Kompasiana, dan kemampuan untuk berkomunitas akan teruji di sini. Kebiasaan menjadi wartawan yang diharuskan melihat dari berbagai sudut pandang, cover both side, kadang harus bersikap skeptis, berusaha obyektif, konfirmasi ulang berbagai informasi yang diterima, menjadi bekal penting yang membantu saya terjun berkomunitas.

Apalagi kemudian saya menemukan tantangan baru, mengelola komunitas hobi dan regional di Kompasiana, yang jumlahnya mencapai 24 komunitas tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Menyenangkan, menantang, kebanjiran pekerjaan, dan satu hal yang paling penting adalah kesempatan saling memberdayakan. Membuka peluang, menciptakan peluang, untuk bisa saling memberikan manfaat seluas-luasnya, lewat tulisan-tulisan yang muncul dari adanya kegiatan berkomunitas. Apalagi yang lebih menyenangkan dari berteman, berkomunitas, dengan sesama penulis produktif, yang kalau kita baca tulisannya bisa menyentil bahkan membakar semangat menulis supaya bisa ikut berbagi cerita lebih banyak, lebih sering, lebih berisi.

Ada kompetisi menulis yang tersembunyi, bukan soal hadiah meski adanya hadiah bisa menyenangkan hati, namun menjadi kebutuhan. Menulis menjadi kebutuhan. Rasanya kok penuh dan penat kalau apa yang ada di pikiran tak tertuangkan dalam tulisan. Lebih penat lagi ketika begitu banyak ide tulisan namun tak sempat menuliskannya.

Menulis di Kompasiana lebih dari katarsis, namun seperti menciptakan gerakan, terutama dari dalam diri sendiri, untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan dan kemampuan, berbagi cerita versi kita, dari hal paling sederhana sekalipun, untuk memberikan padangan, membuka atau berbagi wawasan, dan kalau saya pribadi, tujuan bekerja, tujuan menulis selalu kembali kepada keinginan untuk berbagi manfaat seluas-luasnya, sekadar mencari, membawa, menyebar keberkahan. Bukahkah berbagi ilmu dan pengalaman, yang kemudian bisa membuka pandangan, wawasan atau bahkan menjadi referensi bagi orang lain akan membuat ilmu kita tak terputus?

Menulis, berkumpul dengan komunitas penulis, berkegiatan dengan komunitas penulis yang kemudian menghasilkan ragam tulisan bermanfaat, menjadi kesenangan [pleasure] yang akhirnya saya temukan sejak ber-Kompasiana. Ketika kita merasa berdaya bukankah menyenangkan rasanya? Lebih menyenangkan ketika merasa berdaya melalui tulisan, berkegiatan, berkomunitas dengan sekelompok orang dengan hobi sama, menulis! Selamat menulis, berbagi, berteman dan berjejaring! Terima kasih dan Selamat Ultah ke-7 Kompasiana! Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wardahfajri/kembali-berdaya-berkomunitas-karena-kompasiana_55f5b9837797734026574cac

bottom of page